Rabu, 09 September 2009

Resensi DDID

JEJAK RISALAH

DAN DASAR-DASAR DA'WAH


ISLAM AGAMA RISALAH DAN DA’WAH

1. WAHYU MEMANGGIL FITTHRAH – FITHRAH MENGHAJATKAN WAHYU


“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”(saba: 28)

Risalah yang dipikulkan kepada Rasulullah Muhammad s.a.w. Adapun isi risalah tersebut mencakup berita gembira dan peringatan, yang menjadi objek risalah adalah kepada seluluh umat manusia.

Kepada seluruh manusia risalah disampaikan berita yang menggembirakan dan peringatan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat diatas, yang menjadi objeknya adalah manusia yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lain yang Allah ciptakan yang ada di muka bumi ini.

Manusia mempunyai jasad dan ruh, mempunyai pancaindra untuk mengenal alam luar bersosialisasi dengan manusia yang lainnya, manusia memiliki napsu yang menjadi pelengkap keperluan hidup, mempunyai akal untuk berfikir, mempunyai hati untuk merasa mana yang baik dan mana yang buruk, melakukan sebuah perubahan kepada arah yang lebih baik.

Intisari dari risalah yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. ialah petunjuk, pedoman, bagaimana manusia menjaga nilai dan martabat kemanusiaannya itu, supaya jangan sampai meluncur kepada arah yang tidak diridhoi Allah. Akan tetapi seharusnya supaya bakat potensinya dapat berkembang, mutunya meningkat mencapai yang lebih tinggi.

Peringatan, bahwa pada umumnya derajat manusia tidak tentu bisa naik dan bisa jga turun dengan serendah-rendahnya bahkan melebihi dari hewan, namun dalam Quran di jelaskan dengan tegas bahwasannya “ kecuuali mereka yang beriman dan beramal saleh” yang akan menrmpati derajat yang baik.

Maka olehkarnaitu kalau mau berhasil menjadi orang yang baik di hadapan Allah, tidak dapat bisa di pungkiri, tuntutan tersebut haruslah cocok dengan susunan fitrah manusia itu sendiri, baik dibidang jasmaniyah dan ruhaniyah. Tujuan yang demikian sifatnya dan tujuanya, ialah ISLAM yani agama yang diberikan Allah, cocok dengan fitrahnya manusia.

Qur’an adalah sebuah himpunan dari wahyu yang merupakan tuntutan yang dihajatkan oleh fithrah manusia itu. Tugas dari Risalah para Rasul dan kaitannya dengan tugas da’wah para mubaligh bertujuan untuk mempersatukan fithrah manusia dengan ilahy.

Kita perhatikan bagaimana Qur,an dengan daya dan gayanya mempertemukan fithrah manusi dengan wahyu ilahy, secarra ringkas.

”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”(fusilats: 53)

Tempo-tempo dengan ringkasan kata yang berirama dan menggetarkannya panca-indar fikiran kepada fakta yang dapat dilihat oleh manusia biasa,di sekeliling kita sehari-hari.

Bahkan sering kita agak kaeras jatuhnya ketokan kepada pintu aqal dan qalbu yang sedang terlengah, tidak mau memperhatikan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran ilahy. Permasalahan-permasalahan itu sudah banyak dilakukn pada kehidupan sehari-hari,dan itu tidak menjadi sebuah perhatian yang lebih.

Marilah kita coba renungkan pula contoh lain, bagaimana air yang menjadi salah satu sumber kehidupan mulai berkurang dan habis maka keringlah dunia ini dan semua kehidupan mati, dan di sisi lain perlu kita renungkan pula perhatian kita terhadap bumi yang kita tempati ini: Hidup di bumi ini tidak akan kekal , tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mengalami maut dan selalau membayang bayangi, begitu pula dalam kehidupan inii kita akan diuji bagai mana kitaa menyikapi ujian itu menerima dengan hati lapang atau sebaliknya, namun pada akhirnya kita aka kembali kepada yang mencitakan alam semesta beserta isinya ini.

Tidaklah takut wahyu itu terhadap aqal, tidak berusaha menutup-utupi aqal, apa lagi sampai mematikan aqal.

Dipanggilnya pancaindra untuk memberi makan pada aqal, aqal manusia harus hidup tidak boleh mati dan lumpuh. Aqal harus bergerak dan yang menjadi motor penggeraknya adalah diri kita sendiri. Disinilah peran penting para Rasul kemudian tugas da’wah para mubaligh senantiasa bisa mengingatkan kaepada fitrah manusia itu sendiri jangan sampai lepas landas terjerumus. Akibat terjerumus mengakibatkan atas manusia itu merusakan derajat dan martabatnya sendiri, yakin apabilaa nafsu yang lebih dikedepankan dan dibiarkan berjalan tanpa kendali, merajalela ibarat binatang jalang merombak pagar, sehingga penglihatan dan pendengaran menjadi kabur, aqal dan perasaan menjadi tumpul dan lebih parahnya lagi hhati nurani menjadi bisu.

Satukali dorongan nafsu sudah dipertuan, semboyan yang dipakai: bukanlah lagi “makan untuk hidup”, tetapi “hidup untuk makan”, kalau sudah begitu, apa lagi yang dapan meniggikan derajat manusia dari makhluq binatang yang memang itulah tujuan dari hidupnya, yang riwayat hidupnya tamat di atas punggung bumi ini .

II

RISALAH MEMBINA PRIBADI DAN UMAT

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu[605], ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya[606] dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan (Al-anfal: 24”.

1. TAUHIED DAN IBADAH TEMPAT BERTOLAK

Muhammad s.a.w sudah menyampaikan Risalahnya. Di mulainya menyampaikan kepada sekelompok umat manusia di semenanjung Arabia di tengah-tengah siapa dia dilahirkan.

Di bawah pimpinan ilahy dan dengan wahyu ilahy dituunjukannya Risalahnya kepada seluruh umat manusia. Dipanggilnya aqqal dengan makanan aqal, dipanggilnya rasa dengan makanan rasa, dilepaskannya umat yang terpencil itu, dari lingkungan mental yang sempit, dibawanya kemedan kesadaran yang luas, dibukakannya ruang sejarah, dibawanya riwayat tentang timbul tenggelamnya umat-umat yang telah lalu, dibawanya dengan cara yang mudah untuk dipahami dengan pikiran. Dapat ditangkap oleh rasa.

Dia berseru kepada manusia supaya mengenal Khaliq: “Allah, tidak ada tuhan selain Allah,”

Adapun muhammad s.a.w. adalah hamba –Nya dan utusannya “Abduhu wa Rasuluhu”. Dia bukanlah manusia yang haruus didema-demakan. Dia adalah manusia pilihan khaliq untuk menerima daan menyampaikan wahyu kepada seluruh umat manusia yang ada dimuka bumi ini.

Telah datang Rasul dan nabi silih berganti. Utusan-utusan Allaah kepada kaumnya masing-masing dan untuk zaman masing-masing.

Dipanggilnya manusia untuk menghubungkan jiwanya dengan khaliq dengan ibadah, do’a dan dzikir, langsung tanpa perantara apa-apa dan siappapun juga.

Ibadah yang ikhlas dan tertib itulah sumber kekuatan bagi jiwa dan dhahiriyah seseorang, untuk mengendalikan diri, jangan sampai terbawa hanyut oleh hawa nafsu dalam berbagai macam bentuknya.

Seseorang yang sudah membiasakan dirinya, menghubungkan jiwa dengan ilahy dengan do’a dan zikir yang khusyu’ pasti akan merasakan sendiri, bahwa itu akan merasakan sendiri, bahwa itu adalah sumber dari ketenangan dan kedamaian jiwa sehingga tidak terombang ambing oleh gelombang hidup dengan sukaa dan dukanya.



III

JEJAK RISALAH

1. PRIBADI BATU PERTAMA

Risalah Muhammad s.a.w. tidaklah berakhir pada perumusan-perumusan kaidah-kaidah falsafah yang universal dan abstrak, yang dilepaskan mengapung diawang-awang untuk dilihat dan dikagum-kagumi, atau dalil dalil theologi untuk dikunyah-kunyah sambil duduk.

Tujuan Risalah ialah untuk menghidup-sempurnakan manusia sehingga benar-benar hidup!

Dua puluh tiga tahun lamanya Nabi muhammad s.a.w. menyampaikan Risalahnya, mewujudkan kaidah-kaidah itu ditengah-tengah kekuatan jiwanya, dengan contoh teladan, dengan amal dan jihadnya, dalam suka dan duka, sampai Risalahnya terwujud pada peribadi-peribadi mereka yang menerimanya. Marilah kita turuti Risalah yang membekas pada pribadi perseorangan, sebagai anggota masyarakat.

Risalah Nabi Muhammad s.a.w. menegaskan kewajiban-kewajiban asasi manusia di samping ketentuan-ketentuan bagi hak asasi manusia. Sebenarnya “hak” dan ‘kewajiban” adalah dua nama bagi barang yang satu. Apa yang bagi seseorang merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, merupakan hak yang harus diterima oleh yang lain.

Rrisalah Nabi Muhammmad s.a.w. bukan menjadikan perebutan hak sebagi tempat bertolak, akan tetapi perlombaan memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap sesama manusia.

Dengan lain perkataan: latihan peribadi bukan dipusatkan pada membiasakan menurut haknya, akan tetapi pada membiasaka menghormati hak sesama manusia.

2. KELUARGA

Tidak ragu lagi, bahwa keluarga merupakan satu kesatuan (unit) yang terkecil dari masyarakat. Ia merupakan satu sendi, tempat membangun hidup bermasyarakat dan bernegara. Mutu suatu masyarakat (ummat) ditentukan oleh mutu dari kesatuan primer ini.

Risalah membangun ummat dengan memperkokoh dan mempertinggi mutu dari batu sendi itu sendiri. Dimulainya dari mendudukan hakikat dan status perkawinan dalam pembangunan keluarga. Disuburkannya hubungan antara suami dan istri, antara anak dan ibu bapak, antara anggota keluarga satu sama lain atas dasar mawaddah dan rahmah (cinta kasih) dan rasa tanggung jawab.

Perkawinan bukanlah satu formalitas seperti minta paspor atau membeli karcis kereta api. Perkawinan dan menegakkan hidup berumah tangga adalah salah satu amanah suci dari Khaliq (Allah).

Aqad nikah mempertemukan dua peribadi yang sama-sama bermartabat kemanusiaan dalam ikatan suami isteri, yang mengandung ketentuan tentang hak serta kewajiban yang sama-sama dipenuhi timbal balik.

3. JAMA’AH TERAS MASYARAKAT

Tali ukhuwwah hubungan persaudaraanantara sesama manusia direntang dari rumah-rumah kepada jiran, darisana kedalam lingkungan selanjutnya yang lebih luas, dalm berbagai bidang kehidupan sehari-hari.

Bila suatu jama’ah atau masyarakat yang hidup dalam keragaman ibaratkan dengan sebuah gedong yang indah dan kokoh, para anggautanya ibarat batu batanya yang tersusun rapi, maka apa-apa bisa disebut atensi-atensi peribadi yang “lumrah”, yang memperhubungkan dan memperlautkan bata dengan bata yang lain, sehingga terbentuk tembok yang kuat dan kokoh.



BAGIAN B

BAB I

WAJIB DA’WAH

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. (Al-Imran).

1. TIMBANG TERIMA

Pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriyah berlakukah satu peristiwa yang dapat dibaratkan sebagai satu peristiwa “timbang terima” antara Rasul, pembawa risalah dengan ummat yang menerima amanah da’wah. Yakni pada musim ibadah haji, yang untuk penghabisan kali disertai melakukannya oleh Rasulullah s.a.w. terkenal dengan nama “Hijjatul Wada”, haji penghabisan.

Pagi hari, setelah salat subuh, berangkatlah Rasulullah s.a.w. darri mina menuju kepadang arafah. Rasulullah s.a.w. menunggang unta beliau, Alqashwa, diiringi oleh ribuan ummat yang sama-sama melakukan ibadah haji.

Sampai di tengah-tengah lembah Arafah, Rasulullah menghentikan untanya di tempat yang tinggian. Di dekatnya berdiri Rabi’ah bin Umayah bin Khalaf, yang mempunyai suara keras dan lantang. Lalu diperintahkan oleh Rrasulullah untuk menyambung suara Rasul, agar terdengar keras oleh semmua ummah yang ada disitu.

Rasulullah tetap duduk di atas untanya agar dapat kelihatan oleh orang banyak. Diawali khutbah yang terkenal sebagi “Khutbah Wada”, khutbah perpisahan itu, dengan puji syukur kepada Allah s.a.t. diwal dengan mengambil prhatian ummat yang banyak, lalu dibayangkannya, bahwa hanya satu kali itulah lagi beliau akan berjumpa dengan mereka di padang Arafah.

Tegasnya pembawa risalah menekankan kewajiban menghormati keamanan jiwa dan hak milik antara sesama manusia dan antara bangsa dengan bangsa lain, salah satu dasar untuk memelihara keamanan dan perdamaian.

Selanjutnya Rasulullah s.a.w. mengurangi beberapa ketentuan-ketentuan yang dirasakannya perlu ditegaskan lagi, dalam pesannya yang terakhir itu:

Ø Kewajiban menyempurnakan amanah, (baik yang berupa materi ataupun tugas dan janji).

Ø Ketentuan mengenai penghapusan riba, yang memeras kaum lemah.

Ø Penegasan hak-hak dan kewajiban kaum wanita umumnya, serta kewajiban dan hak timbal balik antara suami dan istri.

Ø Pemeliharaan tali ukhuwwah islamiyah antara sesama seiman.

Ø Persamaan hak dan martabat manusia, tanpa memandang bangsa dan warna kulit.

2. WAJIB DA’WAH

(keadaan mereka) adalah sebagai Keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat keras siksa-Nya. (Al-Imran).

Islam adalah Agama risalah untuk manusia keseluruhannya.

Ummat islam adalah pemegang amanah, untuk menerusakn risalah dengan da’wah, baik sebagai ummat kepada ummat-ummat yang lain, ataupun selaku perseorangan di tempat manapun mereka berada, menurut kemampan masing-masing.

Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa da’wah dalam arti luas, adalah kewajiban yang harus dipikul pler tiap-tiap Muslim dan Muslimah. Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan diri daripadanya.

Da’wah dalam ari amar ma’ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan idup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawaan fitrah manusia selalu “social being” (makhluk ijtima’ie) dan kewajiban yang ditegaskan oleh risalah, oleh kitabullah dan sunnah Rasul!

BAGIAN B

II

FIQHUD – DA’WAH

1. KEMERDEKAAN BERITIQAD DAN WILAYAH DA’WAH

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Al-Baqarah).

Apabilaa kita perhatikan isi susunan, nada dan irama dari Wahyu Ilahy yang memanggil panca indra supaya melihat, mendengar dan sadar, lalu menggugah aqal,memanggil rasa, dan menggerakan dlamir, supaya tafakkur dan tadabbur, dan dengan demikian, sampai kepada keimanan, yang menggerakan anggauta supaya beramal, dapat kita simpulkan, bahwa itulah cara untuk menumbuhkan iman menurut “tarikatul Qur’an”.

Iman seseorang hanya dapat ditumbuhkan dalam suasana bebas, sunyi daripada tekanan dan paksaan. Memang sudah begitu bawaan dari fitrah manusia. “hati jika dipaksakan Jdi but”. Paksaan dan ancaman guna menegakkan suatu i’tiqad atau doktrin, paling banyak menghasilkan pengakuan palsu, dan menambah banyak “permainan- permainan sandiwra”, yang bersedia membeo untuk mengemudikan pemaksa, guna keselamatan sndiri.

2. PERSIAPAN MUBALIGH

Al-Qur’an menegakkan kemerdekaan berfikir dan beri’tiqad, sebagai salah satu hak asasi manusia, dan salah satu qaidah agama yang utama. Maka da’wah yang sesuai dengan tariqati-Qur’an, harus dilakukan dalam rangka menghormati qaidah kemedekaan berfikir dan beri’tiqad itu.

Seorang mubaligh berhadapan dua hal:

- Ada wajib da’wah yang harus ditunaikan; dan

- Ada kemerdekaan beri’tiqad yang harus dihormati

Teranglah, bahwa bukan pada alat-alat pemaksa dan teknik-teknik mempesona seorang mubaligh harus mencari kekuatannya. Kedua-duanya bergantung kepada:

Persiapan mentalnya,

Persiapan ilmiyahnya.

Kaifiat dan adab da’wahnya.

a. Pembiasaan mental (Al-I’dad Al-Fakri)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah).

Sebagaimana telah kita kemukakan dalam BAB sebelumnya “jejak risalah”. Pertumbuhan ummat islam, diibaratkan seperti Al-Qu’an dengan pertumbuhan suatu benih yang pada mulanya memancarkan tunas, yang lambat laun berangsur-angsur mengurangi kelopak, bertambah kuat, akhirnya duduk terhujam pada batangnya, “menta’jub yang pada mulanya memancarkan tunas, yang lambat laun berangsur-angsur mengurangi kelopak, bertambah kuat, akhirnya duduk terhujam pada batangnya, “menta’jubkan dan menggembirakan hati petani yang menanamnya.

b. Persiapan Ilmiiyah

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik" (yusuf: 108).

Seorang petani turun kesawah, dengan pengharapan bahwa tanamannya akan jadi, dan garapannya akan berhasil sebagaimana yang diidamkannya.

Untuk itu ia harus mengetahui cara bercocok taanam, tahu apa jenis benih dan sifat benih yang akan ditebarkan. Bagaimana keadaan tanah, tempat menanamnya, keadaan iklim dan pertukaran musim, apa pantangan-pantangan yang harus dihindarkan, apa macam hama yang akan mengganggu tanaman dan bagaimana memberantasnya.

Begitu pula dengan seoramg muballigh membawakan da’wah dan tujuan membina peribadi dan membangun ummat, sehingga peribadi dan ummat itu berkembang maju sesuai dengan tujuan hidup manusia yang diridhoi oleh Allah.

III

KAIFIAT DAN ADAB DA’WAH

1. HIKMAH

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(An-Nahl:125).”

a. Hikmah dallam arti “mengenal golongan”

Bila seorang pembawa dak’wah sudah mengayunkan langkah, bermacam corak manusia yang akan jumpainya. Syeikh Muhammad Abduh; menyimpulkan dari Al-Quran diatas bahwa dalam garis besarnya,umat yang dihadapi seorang pembawa da”wah dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda puia :

1. Ada golongan cerdik-cendikiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan “Hikmah”, yakni dengan alasan- alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan aqal.
2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi dengan”mauidzatun hasanah”, dengan anjuran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difaham.
3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan “Hikmah”, akan tetapai tidak akan sesuai pula, bila dilayani seperti golongan awam; mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan “mujadalah billati hiya ahsan”, yakni dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya berfikir, secara sehat, satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.

Demikian Syekh Muhammmad Abduh mengatakan seperti sabda Nabi: ”berbicaralah kepada manusia menurut kadar aqal (kecerdasan) mereka masing-masing.(HR. Muslim).

b. Hikmah, dalam arti kemampuan memilih saat, bila harus berbicara, bila harus diam

Tatkala pada permulaan rislah, Muhammadn s.a.w. menerima perintah Ilahy :

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,(Asy-Syu’ara:214).”

Maka Rasulullah s.a.w. mengundang para anggota keluarga beliau yang terdekat untuk makan bersama-sama di rumah beliau. Yang hadir ada kira-kira 40 orang, di antaranya paman beliau, Abu Lahab, setelah selsai makan, Rasulillah s.a.w. bersiap-siap hendak menyampaikan Risalahnya. Akan tetapi Abu Lahab memotong jalan,. Dia bangun lebih dahulu, lalu berkata dengn suara yang lantang dan penuh nafsu:

“Mereka yang hadir ini adalah sadara-saudar bapakmu dan anak-anak keturunan dari saudar-saudar bapakmu. Maka (sekarang) berbicaralah! Dan hentikan penyelewenganmu (dari agamamu) itu.”

“Janganlah engkau menyerang agama kaum-mu, jangan kamu serahkan mereka kepada kemarahan bangsa Arab, sebab sesungguhnya kaum-mu tidak akan sanggup melawan bangsa Arab keseluruhannya.mereka (kaum-mu) tidak sanggup berperang dengan mereka.”

“Kaum-mu sudah tahu maksudmu, hendak merobah agama mereka. Tidak tersembunyai bagi mereka, apa urusan-mu (yang sebenarnya), dan bahwa engkau mengajak mereka kepada penyelewengan, (mengajak mereka) sepaya keluar dari tradisi nenek moyang (kita).”

"awaslah, jaga keselamatan dirimu dan keselamatan keturunan bapakmu. Ketahuilah bahwa bangsa Arab tidak akan membiarkanmu, (begitu saja), tidak sukar bagi mereka untuk menyerang-mu dan membunuh-mu.”

“kembalilah kepada agama bapak-mu dan nenek moyang-mu. Itulah lebib baik bagimu kalau kamu. Tidak, kami akan penjarakan engkau sampai engkau sehhat kembali dari penyakit-mu itu, sehingga kami daapat melindungomu dari 9kemurkaan) bangsa Arab.

Abu Lahab berkata dengan nafsu namun nabi tidak diam tidak menjawab, tapi itu bukan berarti tidak bias menjawab namun akan lebih diam jikaa dib balas dengan jawaban akan mengakibatkan pertengkaran.

c. Hikmah, dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik temu, sebagi tempat bertolak, untuk maju secara sistematis
Sudah menjadi tabiat tabiat manusia pada umumnya, syukur menerima sesuatu pemikiran baru yang dirasakan sebagai pemikiran baru yang dirasakan sebagai pemikiran yang asing sama sekali. Orang lebih mudah menerima, sekurang-kurangnya lebih lekas memberikan minat dan perhatiannya kepada sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan apa yang sudah ada hidup dalam alam fikiran dan perasaannya, yakni apa yang dikenal dalam ilmu jiwa istilah “apersepsi” ataupun sesuatu yang dirasakan langsung mengenai kepentingan mereka sendiri.

Minggu, 06 September 2009

Tasawuf

CAKRAWALA TASAWUF

SEJARAH, PEMIKIRAN DAN KONTEKSTUALITAS


BAB I

PENGERTIAN, DASAR-DASAR DAN

SEJARAH ASAL USHUL TASAWUF



A. Memahami Arti dan Tujuan Tasawuf

Ada sejumlah pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, baik dari kalangan sufi (pengamal ajaran tasawuf) maupun yang bukan, terhadap kata taswuf. Namun demikian tidak mungkin mencantumkan semua definisi dlam tulisan ini, kaareha sebagian definisi memiliki kesamaan arti dengan definisi yang lain, meskipun menggunakan redaksi yang berbeda.

Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut dinisbahkan perkataan ahli al-suffah.

”Kata sufi berhubungan dengan perkataan ahli al-suffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin dikalangan orang-orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah di antara orang-orang yang tidak punya rumah, maka mereka menempati gubuk yang telah dibangun oleh Rasulullah di luar masjid di Madinah”

Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal kata shafa yang berarti suci.

“Segolongan (ahli tasawuf) berkata: bahwa pemberian nama sufiyah karena kesucian hatinya dan kebersihan tingkah lakunya”.

Selanjutnya, ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata shaff yang berarti barisan.

Ada yang mengatakan bahwa kata shhaff ini menggambarkan orang oang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan dalam melaksanakan kebajikan.

Ada yang menisbahkan kata tersebut kepada ash-shufu yang berarti bulu atau wol kasar. Hal ini karena sufi menngkhususkan diri mereka denggan memakei pakean yang berasal dari bulu domba. Dan masih banyak lagi perkataan lain.

B. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf Dalam Al-Qur’an

Al-Qura’an dan As-Sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan dimana pun dibbebani tanggung jawab untuk memahami dan melaksanakan kandungannya dalam bentuk amalan yang nyata. Jika pemahaman terhadap nash tidak diamalkan, disitulah terjadi kesenjangan. Ketika Aisyah ditnya oleh sahabat tentang akhlak Rasulullah, ia menjawab “Al-Qur;\’an”. Para sahabat beliau terkenal sebagai orang-orang yang menghapalkan isi Al-Qur’an dan kemudian menyebarkannya dengan disertai pengamalan dan penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha menerapkan akhlak atau perulaku mereka dengan mencontoh akahlak Rasulullah, yakni akhlak Al-Qur’an.

Aal-Qur’an al-Karim adalah kitab yang didalamnya ditemukan sejumlah ayat yang berbicara atau paling tida berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas.

Di dalam Al-Qur’an ditemuka perintah beribadah dan berdzikir, di antaranya:

$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) óOçGŠÉ)s9 Zpt¤Ïù (#qçFç6øO$$sù (#rãà2øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWŸ2 öNä3¯=yè©9 šcqßsÎ=øÿè?

Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya[620] agar kamu beruntung. (al-anfaal:45).

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ’ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.É‹Î/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2É‹Î/ «!$# ’ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$#

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar-Ra’du:28).

C. Dasar-Dasar Dari Sunnah Rasulullah S.A.W.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Al-Quran, sebagaimana dijelaskan diatas, tasawuf juga dapat dilihat dalam kerangka hadits. Dalam hadits Rasulullah banyak dijumpai keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniyah manusia. Berikut ini beberapa matan hadits yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf. Diantaranya adalah hadis-hadits tersebut:

“Rasulullah s.a.w. bersabda: Takutlah firasat orang mukmin kaena ia memandang dengan nur Allah.”(H.R Bukhari)

“Seorang laki-laki dating kepada Nabi s.a.w. lalu berkata: Wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku. Nabi Bersabda: bertawakallah kepada Allah karena, itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihadlah, karena karena itu kehidupan ruhbani muslim. Berzikirlah karena itu adalah nur (cahaya) Bgimu.”(H.R. Bukhari).

D. Kontraversi Asal Usul Tasawuf

Terlepas dari keterangan-keterangan di atas tentang dasar-dasar tasawuf yang di temukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulullahSAW, ada sebuah pernyataan di kalangan para pengkaji taswuf, yaitu: Apakah tasawuf yang dikenal dinunia islam ketika itu murni bersumber dari ajaran islam atau ada pengaruuh-pengaruh asing dalam pertumbuhanya dan perkembangannya, Pertanyaan itu telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mengatakan bahwa tasawuf tumbuh karena terpengaruh oleh unsur-unsur lain, seperti unsure Nasrani, Hindu-Budha, Yunani, Persi dan lainnya.

1. Unsur Nasrani

Cara hidup yng ditempuh oleh pra zahid (oarng-orang zuhud) dalam islam dimana kehidupan dunia ditinggalkan, memilh untuk hidupp sederhana serta mengasiingka diri, dikatakan leh para rahib-rahib kristen.

Dari literature tasawuf terlihat bahwa ada beberapa hal yang dikatakan yang bersumber dari agama Nasrani. Di antaranya sifat fakir, karena menumbuhkan keyakinan Nasrani bahwa Isa adalah orang fakir dan injil juga diturunkan kepad aorang yang fakir. Isa berkat: beruntunglah orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Berunttunglah kamu oramg-orang yang lapar, karena kmau akan kenyang.

Di antar orientalis yang berpandangan seperti itu adalah Goldziher. Bagaimanapun, Goldziher membagi tasawuf kepadda dua. Pertanma, asketisme. Menurutnya, meskipun elah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, askestisme lebih mengakar kepada semangat ajaran islam. Kedu, Tasawuf dalam artian yang luas seperi ma’rifah, hal wijdah, dan zauq terpengaruh oleh agama hindu dan Neopalatisme.

2. Unsur Hindu – Budha

Ada beberappa ajaran tasawuf yang dikatakan memiliki kesamaan dengan ajaran Budha, diantaranya adalah konsentarai, pengawasan diri dari bujuk rayu nafsu dan pemahaman bahwa hidup ini hanya sementara dapat mengawasi diri dari seluruh keburukan dan mengantar kepada kebaikan. Di samping itu, paham Fana dalm tasawuf yang dikatakan mirip dengan nrwana dalam agama Budha. Dimana agama Budha mengajarkan pemeluknya untuk meninggalkan dan memasuki hidup kontempelatif. Demkian pula dalam ajaran Hindu ada perintah untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Berahman.

3. Unsur Yunani

Dalam sejarah Yunani seperti filasafat masu kedunia Islam ketika berlangsunganya kegiatan penerjemahan karya-karya asing khususnya Yunani kedalm bahasa Arab pada masa daulah Abbasiyyah. Peru dicatat disini bahwa penerjemah-penerjemah tersebut bukan dari kalangan agama lain seperti Yahudi dan Nasrani ynag sebagin mereka yang sebagin mereka bekerja pada waktu itu sebagi penerjemah atau doktr dan lainya Abbasiyyah.

Filasafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi setelahnya masuk kealam materi. Roh menjadi kotor, untuk kembli ketempat asalnya, roh terlebih dahulu harus dibersihkan. Penyucin roh ialah meninggalkan dunia dan mendekati tuhan sedekat mungkian, kalau sudah bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filasafat ini mempunya pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.

4. Unsur Persia

Di dalam historisnya, antara Arab dan Persia telah ada hubungan sejak lama dalam bidang politik. Pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Etapi belum ditemukan dalil yang kuat menerangkan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ketanah Arab. Yang jelas adalah kehhidupan kerohanian Arab masuk ke Persia melalui ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antar isilah zuhud Arab dengan zuhud dalm agama Manu dan Mazdaq dan Hakikat Muhammad menyerupai faham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama Zarathustra.

E. Isilah Syari’at Dan Hakikat

Di kalanagn kaum sufi, iatilah syari’at mempunyai makna tersendiri yang dapat dikatakan berbeda dari pengertian Yng diberikan oleh para ahli hukum Islam.

Di kalanagn ahli-ahli hokum islam, syari’at, syari’ah di artikan seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-Quar’an dan As-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlaq maupun aktivitas manusia baik yang berupa ibadah maupun mau’amalah. Sama dengan pengertia fiqih pada periode Rasulullah S.A.W.

Terlihat bahwa syari’at meliputti seluruh aspek kehidupan, baik aqidah, ibadah maupun muamalah dan juga akhlaq. Di kalangan para sufi, syari’at berarti amal ibadah lahiriyah (eksoterik). Gerakan-gerakan shalat dimulai dari menghadap kiblat, ruku’, sujud, dan seterusnya, demikian pula bacaan-bacaan yang telah ditentukan di dalamnya adalah amal ibadah lahiriyah (syari’ah). Perjalanan kebaitullah, tawaf, sa’I, wukuf diArafah dan lainnya adalah syari’at, amal ibadah yag bersifat lahiriyah.

















BAB II

PENGENALAN TASAWUF

AHLAQI DAN FALSAFI



A. Sejarah Ringkas

Di anatara peneliti-peneliti tasawuf membagi tasawuf kepada dua bagian: Tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang konsentarasinya pada teori-teori prilaku, akhlaq atau budi pekerti. Tasawuf ini dikembangkan oleh ulama-ulama salaf. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungn teori-teori tasawuf dan filasafat. Ini di kembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof.

1. Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Pada priode ini, tasawuf telah kelihatan dalam bentuknya yang awal. Pada priode ini ada sejumlah orang yang tidak menaruh perhatian kepada kehidupan materi sepert makan, pakaian dan tempat tinggal. Mereka lebih berkonsentrasi pada kehidupan ibadah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih abadi yaitu akhirat.

Diantar tokoh-tokoh terkemuka pada perriode ini adalah: dari kalangan sahabat, diantaranya adalah: Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghifari Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Al-Yaman dan lain-lain.

2. Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah

Jika pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalm pengertian yang sederhana, maka pada awal abad ketiga dan keempat hijriyah para sufi milai mulai memperhatikan sisi-sisi teoritis psikologis dalm rnagka perbaikan tingkah laku sehingga tasawuf telah menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan.

Kajian-kajian yang luas dan dalm bidang akhlak telah memotivasi lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan serta efek dan pengaruhnya terhadap tingkah laku. Pemikiran-pemikiran yang muncul berikutnya terlibat dalm masalah-masalah epistimologis yang bagimanapun berhubungan langsung dengan kajian-kajian yang mengenai hubungan manusia dengan Penciptanya. Karena itu, pada aperiode ini, sebuah ilmu telah terbentuk khusus bagi kalangan kaum sufi, yang sebelumnya hanya berupa ibadha-ibadah peraktis.

Dianta yang menjadi tokohnya adalah: Ma’ruf Al-karkhi (w. 200 H/815 M), Surri Al-Suqti (w. 253 H/867 M) Ahmad bin Al-hawari ad-Damsyiqi (w.230 H), dan lain-lain.

3. Abad Kelima Hijriyah

Pemikiran-pemikiran atau paham-paham “unik” atau bahkan ganjil yang dikemukakan oleh abu Yazid dan Hallaj, tentang “kesatun” khaliq dan makhluq, tasauwuf yang diwarnai oleh pemikiran-pemikiran falsafat pengaruh yunani yang kemudian disebut dengan taswuf falsafi, pertentangan antara tasauf dan fiqih, demikian dengan munculnya wali-wali Allah yang dianggap menempati kedudukan imam yang gaib dalam pandangan syi’ah, telah menimbulkan perdebatan panjang dan “hirup pikuk” tasauf yang sebagian teori-teorinya telah dianggap menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar, Al-Ghazali (450 H-505 H) dengan tulisan monumentalnya seperti Al-Munaiz mil Al-Dhalal, Tahafut Al-Falasifah dan Ihya ‘Ulum Al-Din. Diantar supi pada masa ini adalah: Al-Qusyairi (w. 465 H) dal Hawari (lahir 396 H).

4. Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah

Pada abad ini kembali muncul tokoh-tokoh sufi yang memadukan tasawuf dan filasafatdengan teoori-teori yang tidak murni lasafat. Kedua-dunya terpadu menjadi satu, tasawuf ini kemudin dinamai tasawuf falsafi.

Di antar tokoh-tokkohnya adalah: As-suhrawardi (w. 587 H), Mahyuddin ibn Arabbi (w. 638 H0, Umar ibn al-Faridh (w. 632 H), ibn Sab’in (w. 667 H) dan lain-lain.

5. Abad Kedelapan Hijriyah dan seterusnya

Pada abad kedelapan hijriyah ini, tasawuf telah mengalami kemunduran. Ini diantaranya, karena orang-oorang yang berkecimplung dalam bidang taswuf, kegiatannya sudah terbatas terhadap komentar-komentar atau merigkas buku-buku tasawuf terdahulu serta mempokuskan perhatia pada aspek-aspek praktek ritual yang lebih berentuk formalitas sehinga semakin jauh dari subtansi tasawuf.

Pada periode ini hamper tidak terdengar perkembangan pemikiran baru dalam tasawuf, meskipun banyak tokoh-tokoh sufi yang mengemukakan pemikiran-ppemikiran mereka . diantaranya adalah al-Kisanni (w. 739 H) dan abdul Karim Al-Jilli (w. 1417 H).

Di antara penyebab kemunduran mungkin adalah kebekuan pemikiran serta sepiritualitas kering melanda dunia islam semenjak masa-masa akhir dinasti Umayyah.

Di samping tasawuf Sunni, juga dikenal tasawuf syi’i atau syi’ah, khususnya dalm masalahnya dalam masalah kedekatan manusia dengan Allah. Ibnu Khaldun sebagai mana yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan tasawuf falsafi dengan sekte Isma’iliyah dar syia’ah. Sekte Isma’iliyam memiliki pandangan terjadinya hulul atau ketuhanan imam-imam mereka.

BAB III

MAQAMAT DAN AHWAL



Kami sufi telah merumuskan teorI-teori tentang jalan menuju Allah. Yani menuju kesuatu tahap ma’rifah (mengenal Allah dengan hati). Jalan ini diawali dengan riyadhah ruhaniyah (latihan-latihan rohani) yang secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqm (jamanya maqamat) dan hal (jamanya ahwal), yang berakhir dengan ma’rifah kepada Allah.

A. Maqamat (Stages)

Maqamat adalah jama dari kata maqam. Banyak devinisi yang dikemukakan oleh para sufi tentang apa yang dimaksud dengan maqam. Al-Qusyairi, misalnya, menngatakan:

“Maqam adalah hasil usaha manusia dengan jerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntutan dari segala kewajiban.”

Di dalam buku-buku tasawuf ditemukan penjelas-penjelas panjang lebar tentang maqam-maqam. Berikut penjelasan ringkasan beberapa maqam-,maqam tersebut.

Al-Atabubah, secara popular diartika memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan, disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat, disertai dengan melaksanakan amal-amal saleh.

Al-Wara’ dalam pandangan para sufi di antaranya berarti meninggalkan segal sesuatu yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Dalam pandangan para sufi sesuatu yang haram akan menyebabkan noda hitan didalam hati yang pada akhirnya dapat mematikan hati yang karenanya tidak dapat berhubungan dan dekat dengan Allah. Karen aitu para sufi sangat berhati-hati, sesuatu yang tidak jelas halalan dan haramannya mesi di tinggalkan.

Al-Zuhd, dalam pandangan para sufi di antaranya berarti meninggalkan keidupan dunia dan berkomunikkasi kepada kehidupan akhirat. pada tingkatan zuhd yang tertinggi, seorang akan memandang segala sesuatu tidak punya arti, kecuali Allah semata.

Al-Shabr, dalm pandangan para sufi di antaranya berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dalam diri, sabar juga berarti tetap merasa cukup meskipun realitasnya tidak miliki apa-apa.

Al-Tawakkal, dalam pandangan para sufi di antaranya berarti menyerahkan diri hanya kepada ketentuan Allah. Jika mendengar sesuatu yang baik berterima kasih, jika tidak, bersabar dan berserah diri kepada ketentuan-Nya.

Al-Ridha, “Tidak Berusaha”, tidak memandang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnaya hanya perasaan senang dan gembira.

B. Ahwal (States)

Ada sejumlah devinnisi ahwal yang telah dirumuskan oleh para sufi. Di antaranya adalah devinisi dibuat oleh Al-Thusi, menerangkan bahwa ahwal adalah suatu kondisi jiwa yang diperoleh lewat kesucian hati. Hal adalah sebuah pemberian dari Allah bukan sesuatu yang di usahakan seperti maqamat.

Al-Qusyairi mengatakan bahwa ahwal adalah anugrah Allah atau keadaan yang datng tanpa wujud kerja.

Seperti halnya maqamat, ahwal juga terbagi. Berikut penjelasan singkat dari ahwal ter sebut:

Muraqabah, seperti yang telah di singgup pada awal tulisan ini sam dengan al-ihsan yaitu keyakinan yang mendalam bahwa Allah terus mengamati seluruh aktivitas baik lahir maupun batin. Muraqabah ini dikatakan terbagi tiga tingkatan: 1) Muraqabat Al-Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agarvtidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah. 2) Muraqabar Al-Ruhi, yaitu kewaspadaaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalm pengawasan dan engintaian Allah. 3) Muraqabar Al-Sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap sir (rahasia) agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.

Mahabbah, diantaranya dimaknai dengan kedekatan hamba dengan Tuhannya dalam benttuk cinta. Mahabbah berada dengan Al-ma’rifah menggambarkan hubungan yang dekat antar hamba dan Tuhan dalam bentuk pengetahuan dengan qalbu.

Al-Khawf, di antaranya diartikan dengan rasa takut yakni suatu sikap rohani merasa cemas karena kurang sempurna pengabdian dan kekawatiran jika Allah tidak menerima taubat dan ibadahnya.

Al-Raja’ berarti berharap akan sesuatu yang diinginkan atau disenangi. Raja’ yang benar adalah apabila raja’ mendorong seseorang untuk berbuat ketaatan dan mencegah dari kemaksiatan. Khawf dan raja adalah sesuatu yang berkaitan.

Al-Syauq, berarti rindu, Rindi dalm artian sufi, diantaranya, adalah rindu untuk segera bertemu dengan tuhan. Keadaan rindu kepada Tuhan inilah merupakan suatu suasana hati yang diberikan Allah kepada siapa yang Ia kehendaki.

Al-Uns, artinya intim, adalah suatu keadaan di mana seseorang selalu merasa berteman, tidak merasa sunyi. Teman intimnya adalah Allah yang menerimanya dimanapun kapanpun dan dalam keadaan apapun.

C. Metode Irfani

Qalb (hati) dalam pandangan para sufi mempunyai fungsi yang esensial untuk memperoleh kearifan atau ma’rifah, tetapi tidak seemua ­qalb dapat sampai kepada ma’rifah, hanya qalb yang telah suci dari berbagi nodalah yang dapat sampai kesana.kesucian qalb (hati) merupakan prasyarat untuk memperoleh kearifan atau ma’rifah.

Untuk sampai kepada ma’rifah ini mesti melalui tahapan. Di samping tahapan-tahapan maqamat dan ahwal di atas, mesti pula melalui uaha-usaha berikut:

Riadhah, dalam pandangan para sufi merupakan latihan kewajiban dalam usaha meninggalkan sifat-sifat buruk, termasuk didalamnya adalah pendidikan akhlak dan pengobatan pnyakit hati. Menurut para sufi, untuk menghilangkan penyakit itu perlu dilakukan riadhah.

Tafakkur, berfikir dalam pandangan para sufi dapat menghasilkan ilmu ladunni. Denagn bertafakkur yang benar pintu kegaiban dapat terbuka. Al-Gazali. Misalnya, mengatakan bahwa tafakkur merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu ladunni.

Ttazkiyah Al-Nafs, adalah peruses penyucian jiwa dari berbagai kotoran dan penyakit-penyakit hati. Ini diperlukan agar hati dapat menagkap hakikat kebenaran ada lima perkara yang menghalangi jiwa dari Hakikat kebenaran:

1). Jiwa yang belum sempurna.

2). Jiwa yang dikotori oleh perbuatan maksiat.

3). Sikap menuruti keinginan badan.

4). Adnya penutup yang menghalangi masuknya hakikat kedalam jiwa (taqlid).

5). Tidak dapt berfikir logis.

Dzikrullah, berarti mengingat Allah baik dengan ucapan lidah maupun dengan getaran hati atau gabungan dari keduanya. Dzikir dalam pandangan para sufi sangat penting untuk mendapatkan ilmu ma’rifah. Ini karena dzikir berhubunggn dengan hati.



BAB IV

HUBUNGAN TASWUF DENAGAN ILMU KALAM,

FILASAFAT, FIKIH DAN ILMU JIWA AGAMA



A. Ilmu Dalam Pandangan Kaum Sufi

Dalam tradisi ilmu islam, secara garis besar, dikenal dua macam ilmu yaitu: ilmu Al-maktasab dan ilm ladunni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran, sedangkan yang kedua tidak melalui proses tersebut. Ilmu yang kedua ini adalah anugrah atau pemberian dari Allah yang masuk kedalam (diperoleh) hati karena telah terbukanya pintu ma’rifah sebagai buah dari kebersihan bagi para kaum sufi.

B. Hubuunagn Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam

Tasawuf sebagi sebuah ilmu, ilmu kalam, ilmu filasafat, fiqihdan ilmu jiwa adalah merupakan sebagian disiplin-disiplin ilmu keislaman yang memiiki hubungan antar satu dengan yang lainnya. Kketerhubungan ini, secara umum, karena masing-masing dari disiplin ilmu didasarkan kepada atau diilhami oleh dua sumber utama dalam islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Ilmu tasawuf dan ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu yanag memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ilmu kalam adalh ilmu yang mempelajari tentang Allah, sifat-sifat dan kalamnya. Bahasa tentag sifat-sifat dan kalam Allah ini mengarah kepada perbincangan mendalam dengan menggunakan dalil-dalil, baik aqliyah maupun naqliyah, sedangkan ilmu tasawuf sebagai mana telah diterangkan diawal tulisan ini.

C. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Fiqh

Sebelum menjelaskan hubungan kedua ilmu ini, ada baiknya dijelaskan secara ringkas bahwa fiqih yang dimaksud disini adalah fiqih dalam pengertian ahli ukum islam. Fiqih dalm artian tidak sama dengan pengertian syari’ah.

Sudah jelas fiqih mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun mu’amalah. Dalam bidang ibadah misalnya, fiqih mengatur syarat-syarat, rukun-rukun, sunat-sunat ibadah. Dalam bidang syari’ah, misalnya, boleh mengumpulkan kekayaan dan harta benda sebanyak-banyaknya asal melalui jalan yang di benarkan seperti perdagangan yang dibenarkan.

Tasawuf memberikan dimensi lain. Ibadah salat dalam ilmu tasawuf bukan hanya terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-rukun seperti dalam piqih akan tetapi ilmu tasawup berpandangn lebih dari itu salat dimaknai dengan berhubungn manusia denagan tuhan. Hubungan ini mesti benar-benar diusahakan dan dirasakan lewat cara-cara yang telah digariskan tasawuf.

Demikian juga dalam bidang mu’amalah. Jika dalam fiqih diperbolehkan mencari aharta sebanyak-banyaknya asal dengan cara yang benar , tasawuf memberikan dimensi lain, bahwa harta benda bbanyak dapat menmbulkan berbagai akahlak tidak terfuji atau tercela.

D. Hubungan Ilmu Tasawuf Dan Filasafat

Alkindi, sebagaimana yang dikutip oleh irfan Abdul Hamid, mendefinisikan filsafat sebagai berikut:

”mengetahui sesuatu dengan hakikatnya sebatas kemampuan manusia karena tujuan filosof di dalam ilmunya sampai kepada kebenaran dan dan didalam amalnya sebagai amal yang benar”

Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa filsafat berkonsentrasi pada pencarian hakikat sesuatu yang dapat mengantarkan kepada ilmu dan amal yang benar (al-haq).pencarin kebenaran dalam filsafat adalah dengan pendekatan kefilsafatnya dengan pengerahan rasional atau pemikiran.

E. Hubungn Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa

Di antara objekmpembahasan ilmu jiwa (psikologi) adalah kesehatan mental. Dalam ilmu psikiatri dan psikotrapi, kata mental sering digunakan sebagai nama lain dari kepribadian (personality) yang berarti semua unsure jiwa, termasuk pikiran, emosi, sikap dan perasaan yang dalm keseluruhannya membentuk corak prilaku, car menghadapi sesuatu yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan dan sebagainya.

Di dalam ilmu tasawuf juga dibahas hubungan antara jiwa dan jasmani. Ini dirumuskan oleh para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku manusia dengan dorongan yang dimunculkan oleh jiwanya sehingga perbuatan tersebut bias terjadi. Menurut para sufi prilaku (akhlak) seseorang bergantung kepada jenis jiwa yang berkuasa dalam dirinya.













BAB V

SEPUTAR TAREKAT (TARIQAH)



A. Pengertian Tarekat

Tarekat diambil dari bahasa Arab al-tariqah yang berarti “jalan”. Jaln yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kaepada Allah. Al-Syekh Muhammad Amin Kurdi mendevinisikan tarekat semagai berikut: “tarekat adalh pengamalan syari’at dan (denagn tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan (diri) dari (sikap)mempermudah pada apa yang memang tidak boleh diperm”.

B. Tarekat Yang Brkembang Di Indonesia

Terdapat sejumlah tarekat yang berkembang di Indonesia.namun yang banyak dapat simpati dan banyak pendukungnya adalah:

1). Tarekat Khalwatiyah.

2). Tarekat Satariyah.

3). Tarekat Qadiriyah dan,

4). Tarekat Alawiyah.

Di samping itu Tarekat Rifaiyah, Naqsabandiyah, Sammaniyah, Al-Haddad dan Kalidiyah di katakana sebagi aliran yang berkembang di Indonesia.

Tarekat Qadiriyah, inii didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166), ia sering disebut dengan Al-Jilli. Tarekat ini banyak tersebar didunia timur, Tiongkok dampai kepulau Jawa. Penagruh tarekat ini cukup banyak meresap di hatii masyarakat yang diturunkan melewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu. Naskah manaqib yang asli berbahasa Arab, berisi riwayat hidup dan pengalaman sufi Abdul Qadir Jaelani sebanyak empat puluh episode. Manaqib ini dibaca dengan tujuan supaya mendapat berkah dengan sebab keramatnya.

Tarekt Rifa’iyah, didirikan oleh Syekah Rifa’i (Ahmad bin Ali bin Abbas) yang wafat di Umm Abidah pada tahun 578 H. tarekat ini banyak tersebar di Aceh, Jwa , Sumatra Barat, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya.cirihas dari tarekat ini adalah menggunakan tabuhan rabana dalam wiridnya.yang diikuti dengan tariian dan permainan debus yaitu menikam diri dengan sepotong benda tajam yang diiringi dengan zikir-zikir tertentu.

Trekat Naqsyabandiyah, didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin Al-Uwaisi Al-Bukhori (727-791 H.). ia biasa disebut Naqsyabandiyah karena keahliannya memmerikan lukisan kehidupan yang ghaib-ghaib , n”. sesuai dengan kata tersebut “lukis. Tarekat ini banyak tersebar di Sumateraj Jawa maupun Sulawesi.

Tarekat Samaniyah, didirikan oleh Syekah Saman (w. 1720) di Madinah. Tarekat ini tersebar dan mempunyai pengaruh yang dalam di Aceh, juga tersebar di Plembang dan daerah lainnya.di Sumatera. Terekat ini juga sangat besar pengikutnya terutama di masyarakat pinggir kota. Seperti yang lain tarekat ini di amalkan atau di baca supaya mendapatkan berkah. Cirri tarekat ini zikirnyz dengan suara keras dan melengking, kususnya ketika membacakan lafadz la illaha illa Allah.

Tarekat kalwatiyah, didirikan oleh Zahiruddin (w. 1397) di Khuruskan dan merupakan cabang dari tarekat Suhrawardi yang didirikan oleh Abdul Qadir Suhrawardi (w. 1167). Tarekat ini mulai tersebar di Banten oleh Syeh Yusuf Al-Khalawati Ai-Makasari pada masa pemerintahan sultan Ageng Tirtayasa. Tarekat ini sangat banyak pengikutnya di Indonesia, dimungkinkan suluk dari ttarekat ini sangat sederhana dalam pelasanaanya.

Tarekat Al-Haddad, didirikan oleh Syayyid Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad (lahir 1044 H). ia peencipta ratib haddad.trekat ini banyak dikenal di Hadramaut, Indonesia, India, Hijaz, Afrika Timur dan lain-lain.

Tarekat Khalidiah, merupakan salah satu cabang dari tarekat Naqsyabandiyah di Turki yang berdiri pada abad ke 19. Pokok-pokok tarekat ini dibangun oleh Syekah Silaiman Zuhdi Al-Khalidi, tarekat ini berisi tentang adab dan zikir, tawassul dan tarekat, adab suluk, tentang syaik dan maqmnya, tentang ribath dan beberapa persoalan yang diterima dari macam-macam daerah. Tarekat ini banyak dikembangkan di Indonesia.

kemudian yang selanjutnya tarekat Syatariyah, kebanyakan pengikutnya dari Sumatera Selatan dan Syaikh Abd Al-Rauf Sinkel orang yang pertama yang menyebarkan tarekat ini kemudian dilakukan penyebaran oleh murid-muridnya. Tarekat Alawiyah juga tersebar di Indonesia melaui keturunan ‘alawiyah dan murid-muridnya, Sykh Ar-Raniri adalh ssalah seorang seperti orang yang diisyaratkan sendiri seperti dalm karya-karyanya.